TIGA bocah itu mengemas tas mereka sepulang sekolah Selasa sore itu di distrik Sheikh Rudwan, di kota Gaza. Mereka beritahu orang tua kalau mereka akan pergi ke rumah teman, dan mereka merancang sebuah serangan ke satu pemukiman ilegal Yahudi di dekat Gaza.
Senjata mereka hanyalah empat pisau, sebuah kampak dan bahan peledak rakitan yang masih kasar. Bahkan, mereka belum tahu jarak serangan bom itu, dan tentara Israel keburu menghajar bocah-bocah itu hingga tewas di tengah malam yang sepi. Tiga sekawan muda itu terkapar bersimbah darah sewaktu merangkak masuk menuju pemukiman. Too young too die?
Apakah mereka korban atau pahlawan? Para remaja yang dalam usia internasional digolongkan masih anak-anak ini telah meniru orang yang lebih tua dari mereka dalam berjuang intifada. Mereka mencerminkan semangat pembalasan terhadap kebiadaban Israel di tanah mereka, yang setiap saat tampak di pelupuk mata.
Ketiga anak itu ingin menyusup masuk pemukiman ilegal Netzarim yang dihuni warga Yahudi Israel. Ketiga bocah, Youssef Zaqout, Anwar Hamdouna dan Ismail Abu Nadi berjalan enam kilometer menuju pemukiman berpenduduk 6.000 Yahudi, tapi dijaga 10.000 tentara Israel.
Ribuan rakyat Palestina mengantar ketiga pahlawan muda itu ke satu pemakaman di Kota Gaza. Bocah-bocah itu tewas dalam misi martir mereka, namun mereka telah mantap menyambut kematian syahid itu. Mereka tinggalkan catatan kepada keluarga dengan mengabarkan mereka mencari “mati syahid” dan meminta maaf.
Dalam pesan perpisahan, Zaqout menulis kepada ibunya: “Oh Ummi, berbahagialah bersamaku. Aku minta anda berdoa kepada Allah semoga operasi syuhadaku sukses. Aku persembahkan jiwaku karena Allah dan tanah air.”
Lalu Abu Naid menulis, “Ayah, Ibu, maafkan aku. Aku akan melaksanakan operasi syuhada terhadap satu pemukiman.”
Ketika ditanya apakah ia paham dengan motif anaknya Zaqout, sang ibu menjawab,” Anak-anak disiksa oleh apa yang mereka lihat di televisi. Israel menyebabkan semua orang Palestina, termasuk anak-anak, dengan tanpa pilihan kecuali mati.”
Siapa yang menangis, siapa yang tertawa? Para orang tua sedih, sebelia itu mereka sudah berjihad karena tak lagi tahan dengan apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan: penindasan brutal Israel di bumi Palestina merdeka. Cemaslah para orang tua dengan nasib anak-anak mereka. Akan banyak martir muda lainnya menyusul?
Telah meluaslah para syuhada Palestina, tak hanya pria dewasa dan perempuan, tapi juga remaja dan anak-anak. Dunia tampaknya tak bisa membantu rakyat Palestina, mungkin begitu alasannya. Lihatlah, betapa heroiknya anak-anak itu merasa diri mereka. Tiga remaja satu sekolah berusia 14 tahun rela berjihad, meski perjuangan mereka terlalu mudah dihadang tentara Israel yang menembaki mereka hingga tewas.
Sesepuh dan pendiri Hamas, Sheikh Ahmned Yassin, menyampaikan keprihatinan dan menggambarkan aksi anak SMP itu sebagai “bencana nasional.” Bocah-bocah itu bukanlah anggota dari kelompok perlawanan manapun. Namun mereka beraksi atas nama mereka sendiri: anak-anak Palestina yang ingin merdeka dari Israel.
Isi Kamar Remaja
Tengok lagi polah remaja Palestia lainnya. Inilah isi kamar tidur remaja Palestina di satu kamp pengungsi. Tak ada poster grup Linkin’ Park, apalagi Britney Spears. Di kamar Ali (bukan nama sebenarnya) ada selusin bom pipa di samping tempat tidurnya. Lalu ia membuka lemari bajunya, ada tiga jaket tentara Israel dan helm lusuh. Lalu ia mengacak-acak laci mencari potongan amunisi, dan duduk di lantai memegang dua senjata Kalashnikov.
Kamar tidur itu jadi persembunyian sel termuda pejuang Palestina di kamp, sebuah benteng militansi di Tepi Barat. Israel mengklaim berhasil melumpuhkan jaringan militansi Palestina dalam agresi militer berdarahnya selama tiga pekan. Namun, di kamar itu delapan remaja pria berkumpul di sisa-sisa jaringan itu tatkala Israel mengobrak-abrik, menewaskan dan menangkapi para pejuang senior.
Inilah generasi Palestina militan berikutnya, yang lapar untuk membalas dendam, menuntut darah Palestina yang ditumpahkan Zionis Israel. Usia mereka kurang dari 25 tahun. Remaja dan anak-anak Palestina telah tergiring menjadi mujahid karena sebab yang pasti. “Kami ada di sini karena Israel musuh kami yang menghancurkan rumah-rumah kami, dan karena begitu banyak rekan kami terbunuh,” ujar teman Ali, Mohammed. “Meskipun para pemimpin kami ditangkap, kami akan melanjutkan. Kami saling percaya, dan pemimpin kami mempercayai kami.”
Pers AS dan warga mereka menyalahkan anak-anak dan orang tua Palestina (seolah Israel dan pemerintah AS tak pernah salah.) Tapi, kenapa bocah-bocah itu melakukannya? Tawfiq Salman, seorang psikiater di Bethlehem yang bekerja dengan anak-anak dan melakukan survey mengatakan: “Sembilan puluh persen anak-anak Palestina menderita dari sindrom stres pasca-traumatis sebagai akibat pengurungan Israel dan penembakan-penembakan itu.”
Fadel Abu Hayn, psikolog dari Al Aqsa University, mengatakan banyak anak-anak mengalami trauma hebat dengan melihat dan mendengar orang Palestina, khususnya anak-anak seusia mereka, dibunuh tentara Israel. "Itu keputusasaan, keputusasaan, dan lebih banyak keputusasaan. Bocah-bocah tak sanggup mengatasi realitas sedih itu,” ujarnya. Dilanjutkannya, para pembom martir cilik itu lebih dimotivasi oleh rasa hebat keputusaasaan daripada nasionalisme yang hebat.”
Ia mendesak pemimpin militan dan agama untuk membatasi dampak serangan bom martir kepada anak-anak. “Kita tidak seharusnya memiliterisasi seluruh masyarakat. Seorang anak sekolah harus belajar dan hanya pejuang yang tumbuh boleh berperang,” katanya lagi.
Bagi Israel, kematian bocah-bocah Palestina ibarat catatan rutin tak ada artinya. Seorang jubir militer Israel mengatakan, “IDF [Pasukan Pertahanan Israel] mengidentifikasi tiga sosok mencurigakan merangkah beberapa meter dari pagar yang melindungi Netzarim. Mereka memulai tembakan dan ketiganya ditewaskan.” Khas Israel, khas Zionis.
Remaja lainnya, Haitham Abu Shuqa (14), tewas pekan lalu ketika mencoba melakukan serangan solo terhadap pemukiman Yahudi dengan dua bom pipa dan pisau silet. Ia ditembak tentara Israel, dan gagal meledakkan serbuk amunisi senjata yang dibuat jadi bom itu.
Pada 25 Februari, Noura Shalhoub (15), gadis ABG asal Tulkaram tewas ditembak tentara Israel dekat pos pemeriksaan di Jerusalem. Ia merencanakan membunuh tentara Israel dengan senjata sebilah pisau, tak lebih dari itu. Bapaknya Jamal tak menyangka gadis cantik, pendiam, dan pintar itu melakukan aksi serangan martir. Dalam pesannya, Noura malah mengimbau agar teman-teman sebayanya rela berjihad melawan Israel.
No comments:
Post a Comment