Sungguh ironis bila kita melihat fakta bahwa masih banyak sekali masyarakat pedesaan yang masuk dalam kategori masyarakat miskin. Fakta ini dapat kita lihat dari banyak dan panjangnya antrian pada saat pembagian BLT. Di satu sisi, pedesaan kita kaya akan sumber daya alam. Namun demikian, kenyataannya banyak sekali masyarakat pedesaan yang hidup miskin dan karena itu banyak di antara mereka yang pindah ke kota mengadu nasib dengan bekal pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan ala kadarnya.
Jadi, tidak mengherankan bila di kota-kota banyak terdapat bangunan kumuh di sepanjang bantaran sungai. Bangunan-bangunan kumuh ini menjadi tempat tinggal orang-orang desa yang gagal mendapatkan keberuntungan di kota.
Dengan sumber daya alam yang melimpah dan lahan pertanian yang luas, mengapa masyarakat desa tetap miskin dan akhirnya berurbanisasi ke berbagai kota? Menurut saya, hal ini disebabkan oleh dua hal utama - wawasan masyarakat pedesaan yang sempit dan kurang atau tidak tersedianya modal atau orang yang bersedia memberikan modal bagi mereka.
Banyak masyarakat desa yang tidak tahu bagaimana memanfaatkan lahan pertanian mereka secara optimal. Pengamatan saya terhadap para petani di pedesaan Bengkulu dan Sumatera Barat menunjukkan bahwa lahan tidur bukanlah kenyataan yang langka di pedesaan. Petani sering hanya menanam padi dan sedikit palawija. Fokus usaha pertanian mereka adalah pemenuhan kebutuhan keluarga. Jarang terlintas dalam pikiran mereka untuk menanam tanaman unggul bernilai jual tinggi seperti durian monthong, mangga harum manis, atau pisang cavendish (pisang Ambon putih) di pinggir sawah atau tanah mereka.
Karena tidak tersedia uang yang cukup banyak, mereka tidak beternak kambing, sapi, atau kerbau padahal selain ternak itu sendiri dapat dijual, kotoran berupa tahi maupun kencing ternak tersebut sangat bermanfaat sebagai pupuk kandang dan penghasil biogas. Penggunaan pupuk kandang ini sangat menyuburkan tanaman dan mengurangi ketergantungan petani pada pupuk kimia yang harganya mahal dan cenderung naik terus serta dapat mencemari dan merusak lingkungan. Begitu pula, biogas yang dihasilkan dari kotoran ternak sangat menghemat biaya pembelian minyak tanah untuk memasak dan mengurangi penebangan pohon secara serampangan untuk kayu bakar.
Seharusnya, uang yang tidak cukup untuk membeli ternak jangan menjadi penghambat bagi masyarakat untuk beternak. Mereka dapat memulai dengan beternak unggas seperti ayam, bebek, atau itik, yang modalnya cukup beberapa puluh ribu saja. Seandainya mereka tidak punya uang beberapa puluh ribu, mereka bisa menjalin kerja sama bagi hasil dengan tetangga yang punya ayam. Setelah populasinya cukup banyak, ayam tersebut bisa dijual untuk membeli kambing. Begitu pula selanjutnya, setelah populasi kambingnya cukup banyak, kambing tersebut bisa dijual untuk membeli sapi atau kerbau. Jadi, wawasan dan pemahaman agrobisnis harus ditanamkan dan disebarkan di kalangan masyarakat pedesaan.
Itu dari pihak petani. Sekarang kita lihat dari pihak yang memiliki modal. Pemilik modal yang saya maksud di sini bukan lembaga keuangan seperti bank dan lembaga keuangan formal lainnya. Fasilitas kredit dari lembaga keuangan seperti ini tentu sangat merepotkan bagi petani baik dari segi tingginya bunga maupun rumit dan beratnya persyaratan dan prosedurnya.
Pemilik modal yang saya maksud di sini adalah orang perorangan yang memiliki dana yang cukup untuk membeli setidaknya sepasang ternak - kambing, sapi, atau kerbau.
Mungkin pemilik modal di desa jauh lebih sedikit daripada di kota. Karena itu, melalui tulisan dan blog ini saya menghimbau agar siapa pun yang masuk kategori pemilik modal menurut pengertian yang saya maksud dalam tulisan ini segera menjalin kerja sama bagi hasil peternakan - kambing, sapi, atau kerbau. Pemilik modal menyediakan minimal sepasang ternak beserta kandangnya, dan peternak menyediakan lahan dan pakannya.
Perhitungan bagi hasil antara pemodal dan peternaknya bisa 70%-30%, 60%-40%, atau 50%-50%, tergantung kesepakatan antara pemodal dan peternak sehubungan dengan beban yang ditanggung masing-masing pihak. Misalnya, pembagian 50%-50% diberlakukan bila pemodal hanya menyediakan ternak, dan peternak membangun kandang dan menyediakan pakan. Kalau pemodal menyediakan ternak, membuat kandang, menyediakan pakan tambahan serta obat-obatan, dan peternak hanya memelihara dan menyediakan pakan hijauan, pembangian 70%-30% dapat diterima.
Mudah-mudahan para pemilik modal di mana pun berada di seluruh Indonesia tertarik dengan konsep usaha bagi hasil peternakan ini. Segera sisihkan sebagian kekayaan Anda untuk membeli sepasang ternak dan membangun kandangnya. Carilah keluarga miskin di daerah pedesaan atau pinggiran kota di daerah tempat tinggal Anda yang bersedia menerima tawaran kerja sama bagi hasil peternakan.
Peternakan adalah usaha yang relatif mudah dilakukan oleh siapa pun dan menguntungkan. Karena itu, mari kita bangun desa kita melalui usaha peternakan. Mari kita berantas kemiskinan melalui usaha peternakan. Mari kita bantu masyarakat miskin melalui usaha nyata yang saling menguntungkan - kerja sama bagi hasil peternakan. Mari kita bekali masyarakat miskin dengan kail daripada kita beri ikan kepada mereka.
Jadi, tidak mengherankan bila di kota-kota banyak terdapat bangunan kumuh di sepanjang bantaran sungai. Bangunan-bangunan kumuh ini menjadi tempat tinggal orang-orang desa yang gagal mendapatkan keberuntungan di kota.
Dengan sumber daya alam yang melimpah dan lahan pertanian yang luas, mengapa masyarakat desa tetap miskin dan akhirnya berurbanisasi ke berbagai kota? Menurut saya, hal ini disebabkan oleh dua hal utama - wawasan masyarakat pedesaan yang sempit dan kurang atau tidak tersedianya modal atau orang yang bersedia memberikan modal bagi mereka.
Banyak masyarakat desa yang tidak tahu bagaimana memanfaatkan lahan pertanian mereka secara optimal. Pengamatan saya terhadap para petani di pedesaan Bengkulu dan Sumatera Barat menunjukkan bahwa lahan tidur bukanlah kenyataan yang langka di pedesaan. Petani sering hanya menanam padi dan sedikit palawija. Fokus usaha pertanian mereka adalah pemenuhan kebutuhan keluarga. Jarang terlintas dalam pikiran mereka untuk menanam tanaman unggul bernilai jual tinggi seperti durian monthong, mangga harum manis, atau pisang cavendish (pisang Ambon putih) di pinggir sawah atau tanah mereka.
Karena tidak tersedia uang yang cukup banyak, mereka tidak beternak kambing, sapi, atau kerbau padahal selain ternak itu sendiri dapat dijual, kotoran berupa tahi maupun kencing ternak tersebut sangat bermanfaat sebagai pupuk kandang dan penghasil biogas. Penggunaan pupuk kandang ini sangat menyuburkan tanaman dan mengurangi ketergantungan petani pada pupuk kimia yang harganya mahal dan cenderung naik terus serta dapat mencemari dan merusak lingkungan. Begitu pula, biogas yang dihasilkan dari kotoran ternak sangat menghemat biaya pembelian minyak tanah untuk memasak dan mengurangi penebangan pohon secara serampangan untuk kayu bakar.
Seharusnya, uang yang tidak cukup untuk membeli ternak jangan menjadi penghambat bagi masyarakat untuk beternak. Mereka dapat memulai dengan beternak unggas seperti ayam, bebek, atau itik, yang modalnya cukup beberapa puluh ribu saja. Seandainya mereka tidak punya uang beberapa puluh ribu, mereka bisa menjalin kerja sama bagi hasil dengan tetangga yang punya ayam. Setelah populasinya cukup banyak, ayam tersebut bisa dijual untuk membeli kambing. Begitu pula selanjutnya, setelah populasi kambingnya cukup banyak, kambing tersebut bisa dijual untuk membeli sapi atau kerbau. Jadi, wawasan dan pemahaman agrobisnis harus ditanamkan dan disebarkan di kalangan masyarakat pedesaan.
Itu dari pihak petani. Sekarang kita lihat dari pihak yang memiliki modal. Pemilik modal yang saya maksud di sini bukan lembaga keuangan seperti bank dan lembaga keuangan formal lainnya. Fasilitas kredit dari lembaga keuangan seperti ini tentu sangat merepotkan bagi petani baik dari segi tingginya bunga maupun rumit dan beratnya persyaratan dan prosedurnya.
Pemilik modal yang saya maksud di sini adalah orang perorangan yang memiliki dana yang cukup untuk membeli setidaknya sepasang ternak - kambing, sapi, atau kerbau.
Mungkin pemilik modal di desa jauh lebih sedikit daripada di kota. Karena itu, melalui tulisan dan blog ini saya menghimbau agar siapa pun yang masuk kategori pemilik modal menurut pengertian yang saya maksud dalam tulisan ini segera menjalin kerja sama bagi hasil peternakan - kambing, sapi, atau kerbau. Pemilik modal menyediakan minimal sepasang ternak beserta kandangnya, dan peternak menyediakan lahan dan pakannya.
Perhitungan bagi hasil antara pemodal dan peternaknya bisa 70%-30%, 60%-40%, atau 50%-50%, tergantung kesepakatan antara pemodal dan peternak sehubungan dengan beban yang ditanggung masing-masing pihak. Misalnya, pembagian 50%-50% diberlakukan bila pemodal hanya menyediakan ternak, dan peternak membangun kandang dan menyediakan pakan. Kalau pemodal menyediakan ternak, membuat kandang, menyediakan pakan tambahan serta obat-obatan, dan peternak hanya memelihara dan menyediakan pakan hijauan, pembangian 70%-30% dapat diterima.
Mudah-mudahan para pemilik modal di mana pun berada di seluruh Indonesia tertarik dengan konsep usaha bagi hasil peternakan ini. Segera sisihkan sebagian kekayaan Anda untuk membeli sepasang ternak dan membangun kandangnya. Carilah keluarga miskin di daerah pedesaan atau pinggiran kota di daerah tempat tinggal Anda yang bersedia menerima tawaran kerja sama bagi hasil peternakan.
Peternakan adalah usaha yang relatif mudah dilakukan oleh siapa pun dan menguntungkan. Karena itu, mari kita bangun desa kita melalui usaha peternakan. Mari kita berantas kemiskinan melalui usaha peternakan. Mari kita bantu masyarakat miskin melalui usaha nyata yang saling menguntungkan - kerja sama bagi hasil peternakan. Mari kita bekali masyarakat miskin dengan kail daripada kita beri ikan kepada mereka.
No comments:
Post a Comment