Thursday 17 January 2013

Pengaruh Penyebaran Budaya Hindu-Budha di Indonesia Ver 2


Pengaruh budaya India di Indonesia yang dimaksud oleh tulisan ini sesungguhnya hendak memberi gambaran sejumlah pengaruh kebudayaan India yang datang dan melakukan kontak dengan penduduk kepulauan nusantara di masa lalu. Kebetulan, orang-orang India yang melakukan kontak tersebut beragama Hindu dan Buddha. Di masa awal ini, Islam belum terorganisasi secara formal sebagai agama di jazirah Arabia. Pengaruh India tidak hanya pada tataran agama. Pengaruh juga meliputi bahasa, bangunan, teknologi, aksara, politik, ataupun sistem sosial. Kendati secara tertulis pengaruh tersebut sekurangnya telah tercatat sejak 400-an Masehi, tetapi masih dapat diidentifikasi dalam budaya Indonesia saat ini. Jill Forshee bahkan mencatat, sejak abad pertama Masehi kontak-kontak antara masyarakat asli Indonesia dengan India bersifat intensif. Kontak terutama melalui jalur hubungan laut.

Koentjaraningrat menyatakan bahwa sebelum kontak dengan India, penduduk asli Indonesia telah mengembangkan pranata sosial Negara. Negara ini dibuktikan adanya prasasti Muara Kaman yang menunjukkan eksistensi kerajaan Kutai dengan rajanya Kudungga. Orang-orang Indonesia kemudian melakukan kontak dengan para pedagang dan pemimpin agama (pendeta) dari India. Selain Kutai, juga berdiri kerajaan-kerajaan asli di Jawa Barat tepatnya di tepi sungai Cisadane, Bogor. [1]

Koentjaraningrat beranggapan kerajaan-kerajaan tersebut sudah hidup makmur lewat kontak dagangnya dengan India Selatan. Raja-rajanya lalu mengadaptasi sejumlah konsep Hindu (komponen non material budaya) ke dalam struktur kerajaannya. Mereka mengundang para Brahmana beraliran Wisnu dan Brahma dari India Selatan. Mereka memberi konsultasi dan nasehat mengenai struktur dan upacara-upacara keagamaan, termasuk bentuk, organisasi, dan upacara-ucapara kenegaraan menurut sistem India Selatan. Dari anggapan ini, maka sesungguhnya pengaruh India tidak datang lewat penaklukan melainkan permintaan (by request, by consent). Orang-orang Indonesia justru mengundang mereka karena ada kehendak untuk maju dan membuka diri. Lewat undangan inilah, kesusasteraan dan agama India masuk ke Indonesia. Namun, yang menerima pengaruh adalah lapisan atas kekuasaan dan masyarakat di sekitar istana. Masyarakat biasa hampir kurang tersentuh oleh pengaruh ini.

Akibat pengaruh India, struktur sosial Indonesia seperti desa yang awalnya egaliter perlahan berubah dengan masuknya konsep kenegaraan India Selatan yang hirarkis. Raja mulai dianggap turunan dewa. Namun, pengaruh hirarkis ini juga tidak dapat dipukul rata. Ia terutama diadaptasi oleh kerajaan-kerajaan di pedalaman Indonesia yang mengandalkan pertanian dan irigasi sebagai basis ekonominya. Masyarakat atau kerajaan di pesisir pantai tidak terlampau terpengaruh oleh sistem India Selatan ini. Contoh negara pesisir adalah Sriwijaya di mana perdagangan menjadi basis ekonomi andalan. Dalam Negara yang demikian, tidak diperlukan wilayah pertanian, petani yang banyak, serta wilayah pedalaman yang luas untuk menanam bahan pangan oleh sebab barang konsumsi dapat diperoleh lewat interaksi pertukaran (perdagangan). Sriwijaya pun lebih terpengaruh oleh Buddha yang lebih menekankan self-conscience dan individualitas. Tidak terlalu banyak peninggalan berupa candi di Sriwijaya jika dibandingkan dengan wilayah Jawa.

Sebaliknya, di Jawa pengaruh Hindu yang menekankan pada kolektivitas dan hirarki berkembang pesat. Ini akibat basis ekonomi Jawa di mana nuansa pertaniannya begitu kental. Contoh dari ini adalah kerajaan Mataram Hindu, Kediri, Singasari, ataupun Majapahit. Mereka adalah Negara-negara agraris. Letaknya di daerah-daerah subur lembah sungai, sekitargunung berapi, dan rakyatnya hidup dari bercocok tanam. Akibat surplus beras, mulailah kerajaan-kerajaan Jawa ini, misalnya Singasari, berekspansi keluar wilayah dengan mencari Negara-negara bawahan di kepulauan Nusantara. Politik tersusun secara hirarkis, di mana pendeta adalah pemimpin spiritual dan raja bertindak selaku pemimpin dunia. Pemberkatan seorang raja harus dilakukan pendeta. Namun, susunan ini hanya berlangsung di level atas (palace circle) sementara masyarakat biasa (terutama daerah pesisir pantai) hampir tidak tersentuh oleh kebiasaan ini. Barangkali ini pula yang mengakibatkan pengaruh-pengaruh lain (semisal Islam dan individualitas Barat) masuk dengan mudahnya ke kalangan masyarakat Indonesia.

1. Pengaruh di Bidang Bahasa

Kini masih sering ditemukan nama atau kata seperti pustaka, karya, guru, sastra, indra, wijaya, ataupun semboyan-semboyan seperti Kartika Eka Paksi ataupun Jalesveva Jayamahe. Kata-kata tersebut berasal dari bahasa Sanskerta. Penggunaan kata dari bahasa tersebut merupakan bukti hingga kini pun pengaruh India masih terasa di bumi Indonesia. Salah satu penyebabnya, budaya India merupakan budaya asing pertama yang oleh moyang Indonesia dinilai progresif. Proses asimilasi dan akulturasi budaya India durasinya paling lama di Indonesia. Hasil asimilasi dan akulturasi tersebut lalu diakui sebagai bagian dari budaya Indonesia.

Jika bukti tertulis yang hendak dikedepankan dalam masalah bahasa, maka prasasti Muara Kaman, yang berlokasi di Kalimantan Timur, 150 kilometer ke arah hulu Sungai Mahakam, dapat diambil selaku titik tolak tertua. Prasasti tersebut dicanangkan tahun 400 Masehi. Hal yang menarik adalah, prasasti menyuratkan hadirnya dua budaya berbeda: Asli Indonesia dan pengaruh India. Indikatornya adalah nama-nama raja yang terpahat. Prasasti Muara Kaman menceritakan Raja Kudungga punya putra bernama Açwawarman. Açwawarman punya tiga putra dan yang paling sakti di antara ketiganya adalah Mulawarman. Nama Açwawarman dan Mulamarman berasal dari bahasa Sanskerta, sementara Kudungga bukan. Kudungga kemungkinan besar adalah nama yang berkembang di Kutai sebelum datangnya pengaruh India dan agama Hindu.

Sanskerta adalah bahasa yang dibawa oleh orang-orang India, sementara Pallawa adalah huruf untuk menuliskannya. Secara genealogis, Sanskerta termasuk rumpun bahasa Indo Eropa. Termasuk ke dalam rumpun ini bahasa Jerman, Armenia, Baltik, Slavia, Roman, Celtic, Gaul, dan Indo Iranian. Di Asia, rumpun bahasa Indo Iranian adalah yang terbesar, termasuk ke dalamnya bahasa Iranian dan Indo Arya. Sanskerta ada di kelompok Indo Arya.[2]

Mengenai fungsinya, Sanskerta merupakan bahasa utama disiplin agama Hindu dan Buddha. Dari sana, Sanskerta kemudian meluas penggunaannya selaku bahasa pergaulan dan dagang di nusantara, sebelum digantikan Melayu. James T. Collins mencatat signifikansi penggunaan bahasa Sanskerta di nusantara. Menurutnya, bauran antara bahasa sanskerta dengan melayu (sebagai cikal-bakal bahasa Indonesia) sudah berlangsung ratusan tahun. Ini terbukti sejak abad ke-7 para penganut agama Buddha di Tiongkok sanggup berlayar hanya untuk mengunjungi pusat ilmu Buddha di Sriwijaya (Sumatera Selatan).[3]

Menurut Collins, kunjungan ini akibat masyhurnya nusantara sebagai basis pelajaran agama Buddha dan bahasa Sanskerta. I-Ching, seorang biksu Buddha dari Tiongkok, bahkan menulis dua buku berbahasa Sanskerta di Palembang. Ia menasihati pembacanya untuk terlebih dahulu singgah di Fo-shih (Palembang) untuk mempelajari bahasa dan tata bahasa Sanskerta sebelum mereka melanjutkan ziarah ke kota-kota suci Buddha di India.[4] I-Ching juga mengutarakan bahwa di Palembang sendiri terdapat 1000 orang sarjana Buddha.

Posisi Sriwijaya saat itu sebagai transit perdagangan penting di Selat Malaka sekaligus basis pendidikan bahasa Sanskerta membuat pengaruh bahasa ini jadi signifikan. Sanskerta terutama terdiseminasi lewat perdagangan. Seperti diketahui, Sriwijaya adalah kerajaan yang basis ekonominya perdagangan. Dalam perdagangan interaksi antarorang asing yang menggunakan bahasa berbeda sangat tinggi. Situasi ini membutuhkan sebuah bahasa mediator antarorang dan Sanskerta menjalankan perannya. Namun, lambat-laun bahasa Sanskerta menjadi eksklusif karena berkelindan pula dengan gagasan kasta yang berkembang dalam agama Hindu. Penggunaan Sanskerta lalu terbatasi hanya pada dua kasta pengguna, Brahmana dan Ksatria.

Setelah masuk Indonesia, bahasa Sanskerta dari India, tidak murni lagi. Di Jawa misalnya, muncul bahasa hasil asimilasi Sanskerta dengan budaya lokal yang dikenal dengan Kawi. Bahasa Kawi atau juga dikenal sebagai Jawa Kuna kemudian menyebar ke pulau lain. Di Sumatera Barat bahasa ini berkembang lewat kekuasaan raja-raja vassal Jawa semisal Adityawarman.

Pada kurun ini pula, di nusantara dikenal penggunaan tiga bahasa dengan fungsi spesifik. Pertama Jawa Kuna sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Kedua, Melayu Kuna sebagai bahasa perdagangan di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Ketiga, Sanskerta sebagai bahasa keagamaan. Di era kebudayaan India jadi mainstream di nusantara, Sanskerta merupakan kelompok bahasa elit yang hanya dipakai dalam urusan keagamaan maupun formal pemerintahan. Akibatnya, tidak banyak orang yang menguasai, terlebih kalangan wong alit.

Pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu pun terjadi. Bahasa Melayu – pada perkembangan kemudian – merupakan lingua-franca hubungan dagang antarpulau nusantara menggantikan Sanskerta. Bahasa Melayu juga kelak menjadi dasar dari kelahiran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Sebab itu, dapat pula dikatakan bahasa Sanskerta ini sedikit atau banyaknya punya pengaruh pula terhadap bahasa Indonesia. Penelusuran pengaruh bahasa Sanskerta terhadap Melayu dicontohkan prasasti Kedukan Bukit, Palembang.[5] Prasasti tersebut ditemukan 29 Nopember 1920 dan diperkirakan dibuat tahun 683 Masehi. Jejak lain penggunaan bahasa Sanskerta juga ditemukan di Talang Tuwo, Palembang (684 M, huruf Pallawa), prasasti Kota Kapur, Bangka (686 M, huruf Pallawa), prasasti Karang Brahi, Meringin, Hulu Jambi (686 M, huruf Pallawa), prasasti Gandasuli, Jawa Tengah (832 M, aksara Nagari), dan prasasti Keping Tembaga Laguna, dekat Manila, Filipina.

Sebagian bahasa Sanskerta diserap ke dalam Melayu. Kemungkinan ada 800 kosa kata bahasa Melayu merupakan hasil penyerapan dari bahasa Sanskerta. Beberapa kosa kata Sanskerta yang diserap ke dalam bahasa Melayu (juga Indonesia) antara lain :[6]

Pengaruh Sanskerta terhadap Bahasa Melayu


Sanskerta
Melayu

Sanskerta
Melayu
dūta
Duta, wakil

akara
Aksara (huruf)
rūpya
Rupiah

ākāśa
Angkasa (langit)
samudra
Samudra

smara
Asmara (cinta)
śāstri
Santri

bhāa
Bahasa
svayambara
Sayembara

vaśa
Bangsa (rakyat)
sajjita
Senjata

vāñcana
Bencana
chalaka
Celaka

bhaāra
Berhala
śuci
Cuci, membersihkan

chidra
Cedera
gaja
Gajah

carita
cerita
virama
Irama

yaśa
Yayasan
lalita
Jelita

utsaha
Usaha
kacchapī
Kecapi

udara
Udara
katha
Kata

suddha
Sudah
kua
Kota

svara
Suara
kulavarga
Keluarga

siya
Siswa
laghu
Lagu

siha
Singa
nāma
Nama

sasāra
Sengsara
naraka
Neraka

sārdhāna
Sederhana
sabda
Sabda

sajjana
Sarjana
aggama
Agama

satrou
Seteru
soudara
Saudara

maharddhika
Merdeka, kuat
tsjinta
Cinta

drohaka
Durhaka
warna
Warna

velā
Bila

Selain kata-kata yang sudah diserap di tabel atas, ada pula kosa kata yang sudah digunakan dalam prasasti-prasasti berbahasa Sanskerta sejak tahun 1303 M di wilayah Trengganu (sekarang Malaysia). Kosa kata tersebut adalah: derma, acara, bumi, keluarga, suami, raja, bicara, atau, denda, agama, merdeka, bendara, menteri, isteri, ataupun seri paduka. Selain bahasa, huruf Pallawa yang digunakan untuk menulis kosa kata Sanskerta pun turut menyumbangkan pengaruh para huruf-huruf yang berkembang di Indonesia seperti huruf Bugis, Sunda, ataupun Jawi.

2. Pengaruh India di Bidang Arsitektur

Arsitektur atau seni bangunan ala masa India juga bertahan hingga kini. Meski tampilannya tidak lagi identik dengan bangunan Hindu-Buddha (candi) yang asli India, tetapi pengaruh Hindu-Buddha tersebut membuat arsitektur bangunan yang ada di Indonesia menjadi khas. Salah satu ciri bangunan Hindu-Buddha adalah berundak tiga. Sejumlah undakan umumnya terdapat di struktur bangunan candi yang ada di Indonesia. Undakan tersebut terlihat paling jelas di Candi Borobudur, bangunan peninggalan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha.

Ciri khas arsitektur candi adalah adanya 3 bagian utama yaitu kepala, badan dan kaki. Ketiga bagian ini melambangkan triloka atau tiga dunia, yaitu: bhurloka (dunia manusia), bhuvarloka (dunia orang-orang yang tersucikan), dan svarloka (dunia para dewa).


Struktur Candi

Pengaruh sistem tiga tahap kehidupan spiritual manusia bertahan cukup lama. Bahkan ia banyak diadaptasi oleh bangunan-bangunan yang dibangun pada masa yang lebih baru. Bangunan-bangunan yang memiliki ciri seperti ini beranjak dari bangunan sakral (spiritual) semisal masjid maupun bangunan profan (biasa) semisal Gedung Saté di Bandung.

Arsitektur candi lalu mempengaruhi bangunan-bangunan lain yang lebih modern. Misalnya, Masjid Kudus mempertahankan pola arsitektur bangunan Hindu. Masjid yang aslinya bernama Al Aqsa, dibangun Jafar Shodiq (Sunan Kudus) tahun 1549 M. Hal yang unik adalah, menara di sisi timur bangunan masjid menggunakan arsitektur candi Hindu. Selain bentuk menara, sisa lain arsitektur Hindu terdapat pada gerbang masjid yang menyerupai gapura sebuah pura. Juga tidak ketinggalan lokasi wudhu, yang pancurannya dihiasi ornamen khas Hindu.

Terdapat dua hipotesis yang menjelaskan mengapa Jafar Shodiq menyematkan arsitektur Hindu ke dalam masjidnya. Hipotesis pertama mengasumsikan proyek pembangunan masjid hasil akulturasi budaya Hindu yang banyak dipraktekkan masyarakat Kudus sebelumnya oleh Islam yang tengah berkembang. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi cultural shock yang mengakibatkan alienasi para pemeluk Islam baru sebab tiba-tiba tercerabut budaya asal mereka. Hipotesis kedua menyatakan penempatan arsitektur Hindu akibat para arsitek dan tukang yang membangun masjid hanya menguasai gaya bangunan Hindu. Hasilnya, bangunan yang kemudian berdiri jadi bercorak Hindu.

Pengaruh arsitektur Hindu pun terjadi pada bangunan yang lebih kontemporer semisal Gedung Saté yang terletak di Kota Bandung. Gedung Saté didirikan tahun 1920-1924 dengan arsiteknya Ir. J. Gerber. Jika diamati lebih dekat, maka bagian bawah dinding Gedung Saté memuat ornamen-ornamen khas Hindu. Termasuk pula, menara yang terletak di puncak atas gedung yang mirip menara masjid Kudus atau seperti tumpak yang ada di bangunan suci Hindu di daerah Bali. Tentu saja, arsitektur Gedung Saté tidak semata mendasarkan diri pada arsitektur Hindu. Ia merupakan perpaduan antara arsitektur Belanda dengan Lokal Indonesia.

Bangunan modern lain yang memiliki nuansa arsitektur Hindu ditampakkan Masjid Demak. Arsitektur Hindu pada masjid yang didirikan tahun 1466 M ini misalnya tampak pada atap limas bersusun tiga, mirip candi, yang bermaknakan bhurloka, bhuvarloka, dan svarloka. Namun, tiga makna tersebut diakulturasi kearah aqidah Islam menjadi islam, iman, dan ihsan. Ciri lainnya bentuk atap yang mengecil dengan kemiringan lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Atap tertinggi berbentuk limasan ditambah hiasan mahkota pada puncaknya. Komposisi ini mirip meru, bangunan tersuci di setiap pura Hindu.[7]

3. Pengaruh India di Bidang Kesusasteraan

Salah satu peninggalan sastra India yang terkenal diantaranya Ramayana, Mahabarata, dan kisah perang Baratayudha. Sastra India cukup berpengaruh atas budaya asli Indonesia yaitu wayang. Wayang tadinya digunakan sebagai media pemberi nasihat tetua adat terhadap keluarga yang salah satu kerabatnya meninggal dunia. Pada perkembangannya, wayang digunakan sebagai basis pengajaran etika, agama, dan budaya.

Tokoh-tokoh India yang terkenal dalam wayang misalnya Pandawa Lima (Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula-Sadewa), Kurawa (Duryudana dan keluarganya), Ramayana (Hanoman, Rama, Sinta), ataupun kisah Bagavadgita (wejangan Sri Kresna atas Arjuna sebelum perang). Local genius Indonesia mengimbangi dominasi tokoh-tokoh wayang asal India dengan menciptakan punakawan. Selain Semar, tokoh-tokoh punakawan Indonesia pun memainkan peran sentral dalam kesenian wayang. Tokoh-tokoh seperti Petruk, Gareng, atapun Bagong berperan selaku pengimbang dalam sejumlah lakon wayang Indonesia. Bahkan, para punakawan seringkali bertindak (secara satir) sebagai penakluk sekaligus pemberi wejangan atas para tokoh asal kesusasteraan India.

Dengan varian tokoh Indianya, kini wayang diakui sebagai budaya asli Indonesia. Local genius Indonesia memperkaya budaya aslinya (wayang) baik dengan tokoh kesusasteraan India maupun tokoh racikan mereka sendiri. Di masa perkembangan Islam, wayang juga digunakan Sunan Kalijaga untuk menyebarkan ajaran baru ini. Lakon semisal Jamus Kalimasada, yang menceritakan kalimat syahadat dengan Semar selaku tokoh yang memberikan pengajaran kepada Pandawa yang berasal dari India, diciptakan. Cerita-cerita yang terkandung dalam kesusasteraan India memiliki nilai moralitas tinggi. Ia menceritakan pertempuran antara kebaikan melawan kejahatan, kelemahan-kelemahan manusia, dan bakti terhadap orang tua serta Negara. Tradisi sastra India justru memperkaya khasanah cerita wayang lokal Indonesia. Berkas peninggalan India Hindu paling jelas terlihat di Bali dan sebagian masyarakat Tengger di Jawa Timur. Bali bahkan menjadi semacam daerah konservasi pengaruh India yang pernah berkembang di kepulauan nusantara. Di Bali, seni bangunan, seni ukir, seni rupa dan tari masih kental nuansa pengaruh peradaban India, di samping tentunya budaya lokal Bali sendiri.

No comments:

Post a Comment